Mar 17, 2010

UAN : Kecurangan yang kesekian


UAN Curang


UAN dan kecurangan nampaknya tidak akan pernah lepas untuk terus mewarnai pendidikan di Indonesia. Seperti yang pernah saya tulis di blog saya sebelumnya, bahwa UAN adalah sebuah keniscayaan atas kecurangan yang akan terus berlanjut di ranah negeri ini, dan akan berhenti pada suatu saat di mana kita benar-benar paham apa esensi dari sebuah pendidikan. Oleh karenanya, di blog ini, akan saya coba uraikan beberapa sudut pandang mengapa UAN sebenarnya tidak mewakili tujuan pendidikan sebenarnya...
Sebagai awalan, marilah kita buka dengan pertanyaan, "Kenapa kita pergi ke sekolah?". Pertanyaan simpel bukan? Namun, inilah sekiranya pertanyaan simpel yang membutuhkan uraian jawaban yang panjang dan mendalam untuk mewakili esensi pendidikan yang sesungguhnya. Tapi apakah semua orang tahu jawaban "panjangnya"
Karena tidak tahu, umumnya siswa atau masyarakat pada umumnya mempersingkat jawaban itu dengan jawaban, "Untuk cari kerja lah!", atau, "Ya... untuk cari sertifikat yang nilainya bagus-bagus, terus disodorin di bursa kerja." dan saya yakin, jawaban ini begitu familiar di telnga anda sehingga anda mau tidak mau hanya mengiyakan saja. "Toh kenyataannya memang begitu," begitu jawab anda di dalam hati.
Hasilnya, kita setiap hari bangun pagi, mandi, sikat gigi, makan, cium tangan bapak dan ibu, berangkat ke sekolah, untuk menuntut ilmu dengan mind-set mendapatkan ijazah yang "enak dipandang". Dan UAN, sangat berperan penting dalam mengisi data-data yang menentukan apakah ijazah anda "berharga" atau tidak. So... "Inikah tujuan pendidikan yang sebenarnya?"
Tentu tidak... Tapi apa...?
Nah di sinilah peran mata, ada tulisan bagus yang pernah saya baca yang menyimpulkan beberapa poin penting mengenai beberapa tujuan (boleh saya sebut "esensi") pendidikan yang sebenarnya. Poin-poin itulah yang menggambarkan apakah pendidikan yang kita rasakan selama ini dikatakan berhasil atau tidak.

Diantaranya:

Meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (problem solving)

Meningkatkan kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya dalam bentuk verbal maupun tulisan

Membentuk kepribadian yang baik, meliputi sikap-sikap yang sesuai dengan norma dan nilai kehidupan. Seperti, jujur, tanggung jawab, dapat dipercaya, dll.

Sebagai tambahan ada pendapat lain bahwa pendidikan adalah sarana pengabdian masyarakat dan sarana dalam upaya mencapai kebenaran (kalau versi saya, ditambah dengan pengabdian kepada Tuhan).

Terlepas apakah ini memang 100% benar atau tidak, saya melihat memang inilah alasan sebenarnya mengapa saya harus capek-capek berangkat jam 7 dan pulang jam 5 sore hanya untuk mendengarkan guru saya berceramah. Inilah indikator tepat yang seharusnya menjadi standar apakah pendidikan kita berhasil atau tidak.
Sebagai refleksi, apakah UAN telah dapat memetakan kemampuan siswa dengan standar yang telah dituliskan di atas? Hmmm... Kalau memang sistem UAN bisa dikatakan untuk mengukur seberapa IQ kita, maka UAN setidaknya telah mewakili satu poin tujuan pendidikan, yaitu poin pertama meningkatkan kemampuan problem solving siswa. Tapi, itu pun kalau pesertanya jujur.
Kenyataannya, 100% jujur tampaknya masih sangat sangat sulit untuk dicapai, sehingga UAN dapat disimpulkan tidak mencerminkan apa pun dari tujuan diadakannya pendidikan nasional. Saya sebagai rakyat, yang Alhamdulillah bisa merasakan nikmatnya proses pendidikan, masih belum bisa berbuat apa-apa terkait ini. UAN, bagi saya, tampak seperti sebuah paradoks yang bagi pemerintah adalah harga mati untuk terus dilaksanakan dari tahun ke tahun. Ini lebih seperti menutup mata terhadap kenyataan "dampak sistemik" kecurangan pendidikan yang semakin canggih dan parah dari waktu ke waktu.
Yah... inilah kenyataan, dan inilah realitas... kita hanya bisa mengupayakan perubahan diri untuk dapat mengharapkan perubahan di lingkungan terdekat kita.
So... Be juctice guys...

Mar 5, 2010

Jika Aku Ditawari Dua Pekerjaan





Jika aku ditawari dua pekerjaan di saat teman-temanku kebingungan cari kerja, tentu aku akan senang sekali. Apalagi dengan begitu, aku akan selangkah lebih dekat dengan hidup yang bebas dan mandiri. Namun jika melihat diantara keduanya terdapat konflik kepentingan atas diriku, tentu 2 pilihan akan menjadi pilihan yang sangat dilematis.
Katakanlah pekerjaan yang satu ada di kota asalku, Madiun. Di situ aku akan bekerja sebagai penjaga toko buku. Di situ, diriku akan berusaha untuk selalu tersenyum ramah terhadap pelanggan, melayani pertanyaan mereka, dan sedikit sabar terhadap bisikan-bisikan kecil atas keluhan pelayanan toko. Selain itu, aku akan bertugas menata dan merapihkan beberapa buku yang bukan pada tempatnya. Maklum, terkadang orang tidak mengembalikan pada tempatnya setelah melihat-lihat. Mungkin di sela-sela itu, diriku dapat berkenalan orang-orang ternama, minimal berkenalan dengan cewek cantik.
Pekerjaan yang ringan bukan? Selain santai, bisa kenal cewek cantik, tempatnya juga dekat rumah. "Mungkin tidak ada kerjaan yang lebih enak dari itu ya...", Hatiku berkata demikian.
Akan tetapi, dalam sisi hatiku yang lain, bukan itu saja yang kucari. Tidak hanya santai dan dekat, namun juga menantang dan memberikan kesempatan padaku untuk berkembang. Dan tawaranku kedua menjanjikan hal itu, yaitu menjadi Sales MArketing di kota "KEMBANG", Bandung.
Sales Marketing... tentu pekerjaan semacam itu adalah pekerjaan lapangan, pekerjaan yang bakal menguras keringat. Ke sana-ke mari menjajakan barang dagangan. Tak jarang, hanya 1 atau dua barang saja yang akan terjual karena diriku yang masih pemula. Kalau tidak bisa mengejar target, upah pun sedikit. Kalau upah sedikit, mana bisa hidup di Bandung?? Jadi, Apakah ini benar-benar keinginanku?
Kutanya diriku lagi, dan ia berkata IYA...
Jika aku ditawari 2 pekerjaan...
Maka aku akan mengambil nomor 2, karena itulah pilihanku. Entah itu jauh, entah itu mahal, ataupun konyol, diriku tak perduli. Yang aku inginkan adalah kesempatan bebas untuk berkembang.
Kuimpikan diriku segera naik pangkat menjadi sales manager, kemudian menjadi supervisor, kemudian menjadi kepala penjualan regional, dan terus-terus naik hingga CEO. Aku pun tersenyum-senyum sendiri.
Itulah aku, jika temanku bertanya apa pilihanku dan kenapa. Maka itu telah menjadi jawaban. Jika temanku berkata bahwa aku adalah pembohong yang tidak realistis, itu pun tidak apa-apa
Itu hanyalah kata-kata yang ingin kudengar dari dalam diriku sendiri....