Aug 4, 2009

Eksklusivisme, Hal yang Wajar untuk Organisasi

Pernah dengar kata-kata seperti ini,
“Inilah organisasi yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat!”
“Organisasi ini akan membawa kalian menuju masa depan yang cerah!”
“Organisasi ini tidak didirikan oleh sembarang orang, tapi mereka semua telah menjadi...”
“Nah, benarkan kata saya! organisasi ini telah menunjukkan bukti perubahan penting!”
Dll.
Jika anda adalah anggota aktif sebuah organisasi, “kalimat seru” seperti itu rasanya tidaklah asing ketika masuk ke telinga kita. Biasanya dalam kesempatan kumpul-kumpul kalimat-kalimat ini diperdengarkan berulang-ulang kepada kita, sebagai motivasi sebelum melakukan kegiatan. Mungkin ada yang bertanya dalam hati, “Ah sombong banget, baru segitu aja. Berlebihan...berlebihan...!!!”
Menurut saya adalah hal yang wajar apabila suatu organisasi secara berkala menggunakan “kalimat pembeda” untuk terus menunjukkan eksistensinya. Kenapa saya sebut “kalimat pembeda”? Karena dalam kalimat-kalimat yang saya sebut di atas selalu menyebut organisasi tertentu (yaitu dirinya sendiri) bahwa \organisasi itulah yang beda dari kelompok yang lain, entah paling berguna-lah, dibutuhkan-lah, atau lah lah yang lain. Itu pun juga didasari oleh maksud ingin beda dari kelompok-kelompok yang lain (sebagai identitas). Yah, samalah dengan kita yang inginnya tampil beda.
Nah, apabila “kalimat pembeda” ini telah tertanam pada masing-masing anggota, nanti muncullah yang namanya eksklusivisme diri. Eksklusivisme sering disalahartikan dengan makna sombong, karena ciri-cirinya identik. Tapi memang benar jika rasa eksklusif ini berlebihan dapat menjadi rasa sombong yang sangat membahayakan bagi anggota.
Eksklusivisme dikatakan wajar apabila sepanjang penggunaannya hanya sebagai identitas individu sebagai anggota kelompok, dan akan menjadi tidak wajar apabila rasa ini telah menjadi pembenaran bagi setiap perbuatannya, contoh: Perusakan fasilitas umum oleh sekelompok orang dari geng tertentu. Artinya, mereka membenarkan aksi mereka karena tujuan kelompok.
Nah, hal-hal seperti inilah yang kiranya yang harus diwaspadai karena akibatnya sangat berbahaya, dan kita sebagai manusia tidak akan terelakkan untuk berorganisasi. Ceklah dahulu kelompok anda apakah rasa “beda” di dalam kelompok masih pada tingkat wajar atau tidak. Dengan begitu, organisasi di Indonesia dan dunia mungkin akan berjalan bersama dalam harmoni kehidupan.
Semoga berhasil...

4 comments:

Smada AE IPA 6 Administrator said...

Eksklusivisme, deket ngga ama kata fanatik? Dari artikel Anda saya memahaminya begitu. Dalam kelompok, yang saya maksud disini adalah kelompok apapun, termasuk RAS, sangat dibutuhkan yang namanya fanatikisme. Kenapa saya bilang begitu, alasannya cukup sederhana saja:

Tanpa fanatikisme, individu dalam kelompok tersebut akan terbawa oleh kelompok lain.

Mungkin, banyak orang berbeda pendapat mengenai fanatik itu sendiri, saya mendefinisikan:

"sebuah/sesuatu yang mampu membuat indvidu membedakan dirinya dengan individu/komunitas/kelompok lain."

Contoh konkret, orang yang tidak memiliki fanatikisme (versi saya), orang yang mengaku Indonesia, tapi tidak hafal jumlah provinsi di Indonesia tapi hafal jumlah negara bagian Amerika serikat.

Salam...

Q-Tsune said...

Mungkin kamu ingin lihat ini

http://terpopuler.wordpress.com/2009/07/27/motivasi-mario-teguh-ternyata-muslim-sejati/

Be Justice Is My Choice said...

OK... untuk pertanyaan administrator IPA 6 saya jawab singkat begini, bahwa betul bahwa fanatisme pada paham tertentu akan membawa pada eksklusivisme, karena ia merasa paling benar, dan yang lain salah. Otomatis nantinya dia akan mengurangi pergaulan dan muncullah eksklusif tadi. Tunggu saja artikel balasan... Eksklusif mahalkah?

Be Justice Is My Choice said...

Wah sip banget artikelnya... trims buat q-tsune

Post a Comment